BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan adalah modal utama bagi suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dimilikinya. Sumber daya manusia yang berkualitas akan mampu mengelola sumber daya alam dan memberi layanan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, hampir semua bangsa berusaha meningkatkan kualitas pendidikan yang dimiliknya, termasuk Indonesia. Pendidikan dalam makna yang sederhana, adalah proses pengembangan kepribadian manusia. Tanpa pendidikan, masyarakat tidak dapat melanjutkan kehidupannya. Perumusan proses pendidikan sebagai pengembangan kepribadian menjadi sangat luas dan kehilangan arah. Seharusnya pengembangan kepribadian seseorang harus disesuaikan dengan bakat masing-masing. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan yang selama ini dikaitkan dengan perumusan kebijakan publik pada hakikatnya bertumpu pada objek yang sama, yaitu manusia Indonesia sebagai subjek .
Di Indonesia, pendidikan bukan saja tidak diperhitungkan , melainkan juga tidak dikembangkan sebagai basis investasi modal. Padahal pendidikan akan sangat berperan dalam menata masyarakat Indonesia pada masa krisis sekarang ini dan juga sebagai proses justifikasi dalam menjadikan manusia yang mandiri dan kritis. Kebijakan kependidikan di negara kita kurang konsisten sehingga dapat berakibat fatal, terutama pada tahap pembinaan generasi muda. Apalagi sekarang ini, perkembangan dunia begitu pesat dan perlu dibarengi dengan strategi yang sangat pesat pula agar bisa terbentuk manusia yang berkualitas sehingga dapat mempertahankan diri dari arus global.
Pendidikan yang selama ini kita jalankan ternyata tidak memberikan solusi apa-apa dan tidak mampu menyiapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermutu. Pendidikan juga tidak berhasil mewujudkan satu masyarakat Indonesia yang makmur berkeadilan, berdasarkan Pancasila. Semua hal itu menunjukkan betapa pendidikan telah beralih dari domain personal ke domain publik.
Kebijakan pendidikan demokratis yang meliputi : hakikat pendidikan bagi warga negara, persamaan hak (equallity) dan keadilan (equity), isu pendidikan untuk semua (education for all) dan wajib belajar (compulsory education), merupakan mandat yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Lebih lanjut batang tubuh UUD 1945 pasal 31, ayat 1 menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Penegasan serupa juga dituangkan dalam Undang-undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 4 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keadilan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa”. Selanjutnya dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan pada pasal 35 dinyatakan bahwa “standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala.” Dalam ayat berikutnya dijelaskan bahwa standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan.
Perwujudan masyarakat berkualitas merupakan tanggung jawab pendidikan, terutama dalam mempersiapkan peserta didik menjadi subjek yang makin berperan menampilkan keunggulan dirinya yang tangguh, kreatif, mandiri dan profesional pada bidangnya masing-masing. Hal tersebut diperlukan, terutama untuk mengantisispasi era globalisasi yang ditandai dengan persaingan sangat ketat dalam bidang teknologi, manajemen, dan sumber daya manusia (SDM). Untuk menguasai hal tersebut diperlukan penguasaan teknologi agar dapat meningkatkan nilai tambah bagi masyarakatm itu sendiri. Keunggulan manajemen akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi proses peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.
Terkait dengan hal diatas, Pemerintah Indonesia memiliki tanggung jawab mengembangkan sistem pengelolaan serta menggunakan kewenangannya menyiapkan SDM unggul lewat pembenahan sistem pendidikan nasional. Pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 50 ayat 3 menyatakan bahwa “Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang Bertaraf Internasional”. Sesuai dengan amanat perundang-undangan, Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, akan mengembangkan SMP yang berpotensi untuk melaksanakan proses pelayanan pendidikan yang berkualitas untuk menghasilkan lulusan yang memiliki potensi dan prestasi berdaya saing secara nasional maupun internasional.
Pelayanan pendidikan yang berkualitas tersebut diawali dengan program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang dikembangkan dengan memberikan jaminan kualitas kepada stakeholders. Keberhasilan penyelenggaraan program RSBI dapat pula menjadi bahan rujukan bagi lembaga penyelenggara pendidikan lain untuk memberi jaminan kualitas. Jika jaminan kualitas ini diimplementasikan secara luas, maka kualitas pendidikan secara nasional akan meningkat, sehingga pada akhirnya peningkatan kualitas pendidikan akan berdampak pada peningkatan kualitas SDM secara nasional, mengingat dewasa ini kita dihadapkan pada berbagai kesempatan dan tantangan yang bersifat nasional maupun internasional.
Penyelenggaraan rintisan SMP bertaraf internasional ini dimaksudkan untuk mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia agar mampu bersaing secara internasional. Ditargetkan, sebanyak lebih dari 500 sekolah bertaraf internasional akan tersebar di seluruh Indonesia. Selain untuk meningkatkan mutu pendidikan, program ini juga untuk menghasilkan mutu lulusan yang diakui dan setara dengan tamatan sekolah pada negara-negara Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) atau Negara maju lainnya. Secara struktural dan kultural SMP harus berubah total.
Sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. Setiap kabupaten atau Kabupaten harus memiliki minimal satu SD/MI, SMP/MTs, dan SMP/MA, serta SMK yang bertaraf internasional (www.sekolahkami.com).
Program rintisan SBI telah dimulai sejak tahun 2006 di sebanyak 100 sekolah dan tahun 2007 sebanyak 100 sekolah. Adapun indikator kinerja kunci (IKK) rintisan SMP bertaraf internasional antara lain adalah sekolah terakreditasi A secara nasional, menerapkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dengan sistem kredit semester (SKS), sistem akademik berbasis teknologi informasi dan komunikasi (TIK), dan muatan mata pelajaran setara atau lebih tinggi dari mata pelajaran yang sama pada sekolah unggul negara OECD.
Berikutnya, proses pembelajaran suatu mata pelajaran menjadi teladan sekolah atau madrasah lainnya terutama dalam pengembangan akhlak mulia, budi pekerti, dan kepribadian unggul. Selain itu, tenaga pendidik memenuhi standar pendidikan. Untuk SMP minimal 30 persen guru berpendidikan S2 atau S3 dari perguruan tinggi (PT) yang program studinya berakreditasi A, sedangkan tenaga kependidikan seperti kepala sekolah minimal berpendidikan S2 dari PT yang program studinya berakreditasi A .
Dalam hal ini, Sekolah diharapkan menjalin hubungan sister scholl dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri. Sekolah juga harus bebas narkoba, rokok, dan kekerasan. Adapun mata pelajaran yang diajarkan berupa aplikasi contoh. Bahasa dasar yang digunakan untuk mata pelajaran sain dan matematika adalah Bahasa Inggris. Namun, selain sain dan Matematika, pelajaran lainnya harus tetap menggunakan Bahasa Indonesia. Sementara itu, para siswa diharapkan mampu meraih medali tingkat internasional pada berbagai olimpiade sain, matematika, teknologi, seni, dan olah raga. Sementara dalam penyelenggaraan sekolah juga menerapkan prinsip kesetaraan gender. Mendiknas mengharapkan, pada masa mendatang Indonesia akan memperoleh lulusan-lulusan yang berkualitas dan mampu bersaing baik di kancah nasional maupun internasional (www.sekolahkami.com).
Kebijakan pemerintah tentang penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) merupakan bagian dari sistem pembinaan pendidikan dalam penerapan standar sistem pendidikan nasional pendidikan dalam konteks persaingan global. Penetapan kebijakan ini sangat bermakna dalam sejarah perkembangan pendidikan di negeri ini. Karena setelah merdeka 65 tahun, baru kali ini Indonesia secara formal mencanangkan program untuk meraih kesetaraan bahkan meraih keunggulan mutu pendidikan pada persaingan global.
Penyelenggaraan sekolah bertaraf internasional (SBI) yang didahului dengan penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) menjadi kebutuhan mendesak. Membangun sekolah yang sudah memenuhi seluruh SNP serta diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara maju1 merupakan modal dasar pembangunan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Dilihat dari kepentingan otonomi daerah, penyelenggaraan RSBI/SBI menjadi medan persaingan antar-daerah untuk mewujudkan keunggulan sumber daya insani, meningkatkan nilai modal dasar pembangunan agar lebih kompetitif pada masa kini dan pada masa mendatang. Karena itu, pemerintah daerah sesungguhnya memiliki kepentingan strategi dalam pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan RSBI/SBI sebagai media untuk.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga turut menyelenggarakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional( RSBI) sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 50 Ayat 3. Adapun sekolah yang menyelenggarakan RSBI jenjang pendidikan SMP adalah SMPN 1 Cilacap .
Dalam penelitian ini, kami membatasi fokus penelitian hanya di SMPN 1 Cilacap dengan alasan karena SMPN 1 Cilacap adalah sekolah pertama di Cilacap dan juga termasuk 100 sekolah di Indonesia yang merintis adanya Sekolah Bertaraf Internasional, yakni mulai tahun pertama (2006). SMP N 1 Cilacap juga sudah ditetapkan sebagai Sekolah Standar Nasional (SSN) pada tahun 2005 dengan nilai hasil kualifikasi amat baik, sehingga dengan penetapan tersebut, SMPN 1 Cilacap sudah termasuk dalam indikator kriteria penetapan sekolahan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional. Jadi, sampai tahun 2009 ini SMPN 1 Cilacap sudah terhitung hampir dua tahun menerapkan manajemen peningkatan mutu sekolah menuju Sekolah Bertaraf Internasional. SMPN 1 Cilacap juga telah menjalin hubungan kemitraan sister school dengan sekolah bertaraf internasional di luar negeri dalam wujud adopsi/ adaptasi kurikulum pembelajaran negara-negara OECD seperti dengan Internasional Islamic School (IIS) Malaysia dan Brown Plains High School Queensland, Australia. Berbagai pelatihan/ seminar/ in house training terkait penguasaan Bahasa Inggris dan pemanfaatan Teknologi dan Informasi (TI) pun juga telah rutin dilaksanakan mengingat pentingnya hal tersebut. Namun selama perjalanan dalam proses implementasi program Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI) ini, tentunya tidak menutup kemungkinan terdapat berbagai masalah, penyimpangan, dan kendala yang muncul dalam tataran praktis yang mungkin belum terdeteksi secara dini, diantaranya adalah mengenai proses pembelajaran di SMP 1 Cilacap yang dilakukan selama ini belum sepenuhnya dapat mengadaptasi kurikulum dari Negara-negara OECD, sehingga dalam pembelajarannya belum secara utuh menggunakan bahasa Inggris serta memanfaatkan teknologi. Dalam implementasi program RSBI selama ini juga ditemukan berbagai kelonggaran aturan yang telah diterapkan. Adanya diskresi aturan semacam itu, kemungkinan diperlukan dalam rangka mendukung kelancaran program. Selain hal itu, kesatuan tekad dan komitmen yang tinggi dari semua warga sekolah dan stake holder juga kemungkinan diperlukan, mengingat selama ini dinilai semangatnya masih naik turun/ belum total dalam pengimplementasian program. Partisipasi dari masingmasing peran seluruh warga sekolah serta bagaimana membangun sistem jaringan dengan berbagai pihak/ stake holder yang belum maksimal selama ini, juga kemungkinan akan mempengaruhi peningkatan keberhasilan dalam pencapaian tujuan dan pengembangan program. Melihat permasalahan diatas, maka kami merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam bagaimana proses implementasi program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di SMPN 1 Cilacap.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : “ Bagaimana proses implementasi program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di SMPN 1 Cilacap, dilihat dari:
a. Partisipasi komponen sekolah (kepala sekolah, guru/karyawan, siswa, dan orang tua) pada pengambilan keputusan dalam pengembangan program sekolah.
b. Sistem jaringan (networking) yang telah dibentuk/ dibangun.
c. Diskresi aturan yang terjadi dalam program.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang hendak kami capai dalam penelitian ini adalah antara lain untuk :
1. Mengetahui bagaimana Partisipasi komponen sekolah (kepala sekolah, guru/karyawan, siswa, dan orang tua) pada pengambilan keputusan dalam pengembangan program sekolah.
2. Menjelaskan bagaimana sistem jaringan (networking) yang telah dibentuk/ dibangun.
3. Mengetahui bagaimana diskresi aturan tersebut terjadi dalam pengimplementasian program.
D. Manfaat Penelitian
1. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pihak SMPN 1 Cilacap dalam mengembangkan implementasi program RSBI.
2. Memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terkait dalam pengimplementasian program RSBI.
3. Diharapkan bisa memberikan peluang bagi penelitian yang lebih lanjut.
4. Digunakan untuk memenuhi tugas mata Kuliah Kebijakan dalam sistem Pendidikan.
E. Landasan Teori
1. Implementasi Kebijakan
Menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (1991 : 54), implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya keputusan tersebut berbentuk undang-undang namun bisa juga berupa perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting ataupun keputusan badan peradilan, dimana pada umumnya keputusan itu mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, tujuan yang dicapai, dan berbagai cara untuk mengatur proses implementasinya.
Van Meter dan Van Horn dalam Solichin Abdul Wahab (1991: 51) merumuskan definisi implementasi kebijaksanaan negara sebagai tindakantindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu / pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan.
Hessel Nogi S. Tangkilisan (2003: 19) menjelaskan bahwa proses implementasi kebijakan tidak hanya menyangkut perilaku badan administratif yang bertangung jawab untuk melaksanakan program tapi juga menyangkut jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi dan soial yang langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku dari semua pihak yang terlibat yang pada akhirnya berpengaruh terhadap tujuan kebijakan baik yang positif maupun yang negatif.
Proses implementasi merupakan fase yang sangat penting dalam keseluruhan proses tahap pembuatan kebijakan. Udoji dalam Solichin Abdul Wahab (1991: 45) mengatakan bahwa pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijaksanaan . Kebijaksanaan-kebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.
Berdasarkan beberapa pengertian implementasi diatas, dapat disimpulkan bahwa proses implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh stake holder (individu-individu / pejabat atau kelompok pemerintah atau swasta) yang menyangkut perilaku badan administratif, jaringan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan sosial dalam rangka pencapaian tujuan yang sesuai dengan keputusan kebijakan.
Proses implementasi menuntut atau memungkinkan dilibatkannya partisipasi masyarakat, karena dengan demikian akan terjadi kontrol oleh masyarakat terhadap pelaksanaan aktivitas kebijakan yang dilakukan yang bisa meminimalisir kerugian pada pihak masyarakat itu sendiri, sehingga stakeholder penting dalam proses implementasi. Demikian pula implementasi suatu kebijakan akan berhasil atau tidak juga dipengaruhi oleh seberapa kuat dan bagaimana jaringan stakeholder dilakukan.
Berkaitan dengan penelitian ini, maka proses implementasi program RSBI dapat diartikan sebagai pelaksanaan kebijakan RSBI yang dilakukan oleh stakeholder ( para guru, kepala sekolah, para siswa, komite/ orang tua wali, dsb) yang menyangkut perilaku badan administratif yang kemungkinan mengarah pada lembaga sekolah( baik kepala sekolah/ guru dengan orang tua siswa maupun kepala sekolah/ guru dengan siswa itu sendiri). Selain itu, proses implementasi ini menyangkut tentang jaringan kekuatan-kekuatan politik yang dibangun, kemungkinan hal ini adalah bagaimana partisipasi orang tua/siswa terhadap pembuatan keputusan terkait pembiayaan/ pengelolaan sekolah dan juga berhubungan dengan jaringan antara stake holder yang terjalin dalam proses ini.
2. Partisipasi
Partisipasi merupakan unsur esensial dalam proses implementasi. Partisipasi merupakan suatu bagian penting dari pemberdayaan dan penumbuhan kesadaran untuk mencapai keberhasilan pembangunan. Menurut Erwan dalam (Dwiyanto, 2005: 189) Partisipasi publik merupakan salah satu indikator penting atau cirri-ciri eksistensi sistem pemerintahan yang demokratis, disini tidak hanya dilihat sebagai keterlibatan publik dalam pemilihan umum, tetapi juga dalam berbagai aktivitas politik lain yang berimplikasi terhadap kepentingan masyarakat banyak.
UNDP sebagaimana yang dikutip oleh Joko Widodo (2007: 116) bahwa Partisipasi setiap warga negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang mewakili kepentingnnya. Partisipasi seperti itu, dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.
Menurut Rukminto (2008: 111) partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternative solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah dan keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Moelyarto dalam Hessel (2005) menempatkan partisipasi sebagai komponen strategis pendekatan pembangunan sosial, dengan asumsi dasarnya bahwa rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir dari pembangunan, dimana partisipasi merupakan akibat logis dan dalil tersebut.
Sedangkan Lukman Sutrisno dalam Hessel (2005) menempatkan partisipasi sebagi style of development yang berarti bahwa partisipasi dalam kaitannya dengan proses pembangunan haruslah diartikan sebagi suatu uasaha mentransformasikan sistem pembangunan, dan bukan sebagai suatu bagian dari usaha system maintenance.
Menurut Keith dalam Hessel (2005) unsur partisipasi ada tiga : pertama Adanya keterlibatan mental dan emosi individu dalam melakukan aktifitas kelompok, kedua adanya motivasi individu untuk memberikan kontribusi tergerak yang dapat berujud barang, jasa, buah pikiran, tenaga, dan keterampilan; ketiga timbulnya rasa tanggung jawab dalam diri individu terhadap aktivitas kelompok dalam usaha pencapaian tujuan.
Dari berbagai definisi tentang partisipasi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat adalah: Keterlibatan masyarakat (stake holder) berupa aktivitas-aktivitas baik secara langsung atau tidak, dalam proses pembuatan kebijakan sistem pembangunan, sehingga masyarakat akan tumbuh kesadaran dan kepemilikannya. Konsep partisipasi kaitannya dengan implementasi program RSBI di SMPN 1 Cilacap ini bisa diartikan sebagai keterlibatan stake holder (kepala sekolah, guru/ staf karyawan, siswa, dan orang tua) berupa aktivitas-aktivitas baik secara langsung atau tidak, dalam proses pengambilan keputusan atau kebijakan, sehingga mereka akan tumbuh kesadaran dan kepemilikannya terhadap sekolah dalam pengembangan program RSBI di SMPN 1 Cilacap ini.
3. Jaringan (Networking)
Dalam proses implementasi program RSBI ini, konsep jaringan memang suatu hal yang tidak bisa ditinggalkan. Tanpa adanya sistem jaringan yang kuat program ini akan sulit berkembang. Menurut Riant dan Tilaar (2008: 223) konsep ini memahami bahwa proses implementasi kebijakan merupakan sebuah complex of interaction processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (networking) aktor-aktor yang independent. Interaksi di antara para actor dalam jaringan tersebut lah yang akan menentukan bagaimana implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan, dan diskresi-diskresi yang diharapkan menjadi bagian penting di dalamnya.
Pada teori ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya mempunyai tujuan masingmasing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada aktor yang menjadi koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau kesepakatan di antara actor yang berada pada sentral jaringan yang menjadi penentu dari implementasi di kebijakan dan keberhasilannya.
Sedangkan menurut Sudarmo (2008) melalui linking social capital, individu dan kelompok masyarakat lemah dalam strata sosial bisa menjalin network dengan mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dan kekuasaan serta kejayaan yang lebih besar sehingga melalui jaringan ini mereka bisa memperbaiki kapasitasnya terhadap akses, informasi, serta ide-ide yang dimiliki oleh state (pemerintah, negara) secara tersembunyi yang selama tidak dipunyai oleh kelompoknya yang lemah tersebut.
Dari berbagai pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep jaringan/networking adalah proses interaksi diantara aktor terutama bagi individu/ kelompok masyarakat lemah yang menjalin networking/ hubungan dan kerjasama dalam tingkat lokal, regional, bahkan internasional dengan kelompok yang mempunyai kekuasaan/ kejayaan yang lebih besar, sehingga diperoleh suatu akses, informasi dan ide-ide yang bermanfaat bagi individu/ kelompok lemah tersebut.
Pemahaman konsep jaringan dalam konteks analisis program RSBI ini diartikan sebagai pemahaman tentang implementasi RSBI sebagai suatu proses interaksi diantara aktor yang terlibat dalam kesuksesan implementasi program RSBI di SMPN 1 Cilacap. Pihak SMPN 1 Cilacap membina hubungan interaksi dengan kelompok-kelompok/ institusi terkait dalam tingkat lokal. Dari hubungan interaksi kerja sama tersebut diharapkan akan mendapatkan keuntungan berupa pengalaman, ide-ide, pengatahuan, atau informasi yang bermanfaat bagi pengembangan program. Sedangkan dalam tingkat internasional, hubungan interaksi dibangun terkait pengembangan model adaptasi pada standar proses pendidikan dari sekolah unggul salah satu negara anggota OECD. Salah satu negara anggota OECD yang akan ditunjuk oleh SMPN 1 Cilacap tersebut dinilai mempunyai keunggulan dalam hal proses pembelajarannya sehingga melalui hubungan kerjasama/ jaringan dapat memperoleh akses informasi dan ide-ide yang dikembangkan disana. Dengan adanya proses interaksi melalui berbagai jaringan antar pihak/ aktor terkait tersebut, proses pembelajaran program RSBI di SMPN 1 Cilacap diharapkan dapat berjalan sesuai yang direncanakan.
4. Diskresi
Dalam proses implementasi sering kali berbagai aturan yang telah dibuat belum sepenuhnya dapat mencakup berbagai hal/ kebutuhan yang terjadi di lapangan, untuk itu diperlukan adanya diskresi kebijakan. Dwiyanto dalam Hessel (2005) menjelaskan bahwa diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh administrator untuk menyelesaikan kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam regulasi yang baku.
Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh administrator kepada pengguna jasa. Pertimbangan untuk melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkinmampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholders dalam merumuskan kebijakan atau peraturan.
Chandler dan Plano dalam Hessel (2005 : 43) mengungkapkan bahwa : “Administrative discretion is the freedom administrators have to make choice which determine how a policy will be implemented. Administrative discretion is the result of the inter action between politics and administration”
Dalam implementasinya, tindakan diskresi diperlukan sebagai kewenangan untuk menginterpretasikan kebijakan yang ada atas suatu kasus yang belum atau tidak diatur dalam suatu ketentuan yang baku. Diskresi secara teori adalah penyimpangan. Prinsip dalam diskresi adalah menyatakan bahwa pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur tidak perlu terlalu dipermasalahkan, sepanjang tindakan yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi, serta tetap dalam kerangka pencapaian tujuan organisasi. Indikator dalam analisis yang dipergunakan untuk melihat diskresi birokrasi meliputi serangkaian tindakan yang dilakukan aparat pelayanan berdasarkan inisiatif, kreativitas, dan tidak terlalu bersandar pada peraturan atau juklak secara kaku.
Diskresi dinilai baik, apabila aparat birokrasi selalu berupaya mengatasi sendiri kesulitan melalui cara-cara yang berorientasi pada upaya pemuasan kepentingan publik. Tindakan diskresi yang ditempuh meliputi mendiskusikan suatu masalah dengan rekan kerja, dan memutuskan suatu masalah berdasarakan visi organisasi. Diskresi dinilai buruk apabila aparat pelayanan dalam merespons kesulitan yang dihadapi memilih mengambil tindakan dengan meminta petunjuk pimpinan atau menunda pelayanan sampai pimpinan datang. Pada proses pelaksanaan, tindakan diskresi diperlukan agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dapat maksimal, sekaligus mampu memenuhi tujuan, visi, dan misi organisasi publik secar akurat dan sistematis.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep diskresi adalah suatu langkah keleluasaan yang ditempuh administrator dalam pengimplementasian program dengan membuat suatu keputusan yang belum terdapat dalam aturan sebelumnya. Dalam kaitannya dengan implementasi program RSBI di SMPN 1 Cilacap ini dapat dipahami atau dilihat dari adanya kelonggaran aturan yang dibuat oleh pihak sekolah dalam kenyataan implementasi di lapangan. Diskresi ini dilakukan karena realita di lapangan belum bisa seutuhnya mengadaptasi aturan yang ada.
Ada beberapa suatu keputusan yang diambil pihak sekolah untuk memudahkan implementasi program berlangsung, tetapi keputusan tersebut masih berada jalur yang sesuai pada tujuan yang ditentukan. Hal ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan sumber daya yang ada belum mampu memenuhi standar yang ditentukan atau belum siap sepenuhnya. Oleh karena itu, pihak sekolah harus bersikap bijaksana/ ‘luwes’ dan berpikir kreatif , namun tetap tidak mengubah visi organisasi. Dalam kenyataan di lapangan, kemungkinan terdapat berbagai kesulitan baik yang bersifat materi/ teknis bagi para siswa maupun bagi guru itu sendiri. Disini, kemungkinan dibutuhkan suatu adanya diskresi/ kelonggaran aturan sehubungan dengan hal tersebut sehingga sharing knowledge tetap bisa tersampaikan oleh guru kepada siswa. Diskresi ini dilakukan dengan tidak merubah tujuan, visi, dan misi organisasi.
F. Kerangka Pikir
Dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, pemerintah mengeluarkan program tentang penyelenggaraan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang mengamanatkan masing-masing Pemerintah Kabupaten/Kabupaten. Pemerintah Kabupaten Cilacap juga menyelenggarakan program tersebut yaitu di SMP Negeri 1 Cilacap. Penelitian ini akan menjelaskan bagaimana proses implementasi ini berlangsung yang menuntut dilibatkannya partisipasi dari seluruh stakeholder yang berada di sekolah tersebut meliputi kepala sekolah, para guru dan staf karyawan, siswa, dan orang tua. Penelitian ini juga memfokuskan pada proses implementasi yang menyangkut tentang bagaimana sistem jaringan yang dibangun, kemungkinan hal ini adalah bagaimana pihak SMP Negeri 1 Cilacap membangun sistem jaringan dengan pihak luar baik di tingkat local maupun internasional. Selain itu, penelitian ini juga melihat bagaimana diskresi/ kelonggaran suatu aturan itu terjadi ketika peraturan diimplementasikan.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini kami menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif merupakan pendekatan yang memerlukan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh berhubungan dengan objek yang diteliti bagi menjawab permasalahan untuk mendapatkan data-data kemudian dianalisis dan mendapat kesimpulan penelitian dalam situasi dan kondisi tertentu (Iskandar, 2008:17). Sehingga dalam penelitian ini diperlukan kemampuan untuk menggali informasi yang sedalam-dalamnya namun tetap dalam konteks permasalahan yang diteliti.
Selain itu, pendekatan penelitian kualitatif pada intinya dilaksanakan melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategorisasi, dan deskripsi dikembangkan atas dasar masalah yang terjadi dilapangan (Iskandar, 2008:187). Dari hal tersebut maka akan dapat ditarik kesimpulan melalui tahap-tahapnya. Proses pengumpulan data, reduksi data, display data dan pengambilan simpulan bukanlah sesuatu yang berlangsung secara linear, melainkan merupakan suatu siklus yang interaktif (Susanto, 2006:24). Sehingga dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan melakukan penelitian terlebih dahulu baru kemudian membangun teorinya (Susanto, 2006:25).
Dalam penelitian ini, kami berusaha untuk menerangkan atau menjelaskan mengenai bagaimana proses implementasi program RSBI di SMPN 1 Cilacap ini dilihat dari bagaimana partisipasi seluruh komponen sekolah dalam pengembangan program sekolah, bagaimana pihak sekolah membangun sistem jaringan dengan pihak luar juga melihat diskresi apa saja yang dilakukan sekolah dalam mendukung implementasi RSBI di SMP N 1 Cilacap.
2. Lokasi penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di SMPN 1 Cilacap. Adapun alas an pemilihan lokasi tersebut karena SMPN 1 Cilacap adalah lokasi dimana dijadikannya rintisan program sekolah bertaraf internasional pertama di Cilacap yang dimulai sejak tahun pertama pemerintah merintis program tersebut yakni tahun 2006 (lihat lampiran). Di samping itu, SMPN 1 Cilacap sampai saat ini adalah satu-satunya SMP di Cilacap yang ditunjuk oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap untuk menyelenggarakan program ini.
3. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari obyek yang diteliti. Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2006:157). Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Data primer
Data primer adalah data atau informasi yang diperoleh secara langsung dari orang-orang yang dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi data atau informasi yang diperlukan. Data atau informasi tersebut diperoleh melalui wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait dengan implementasi program RSBI di SMPN 1 Cilacap. Data ini diperoleh melalui Kepala Sekolah/ Wakil Kepala Sekolah SMPN 1 Cilacap (Kepala Bagian RSBI, Kepala Bagian Kurikulum dan Kesiswaan), guru pengajar /staf pendidikan terhadap proses pembelajaran RSBI di SMPN 1 Cilacap.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lain selain data primer yang terdiri dari dokumen, laporan, arsip, peraturan perundangan, dokumen-dokumen administratif, keputusan dan ketetapan resmi, dan kesimpulan rapat, seperti Rencana Pengembangan RSBI di SMP N 1 Cilacap tahun 2007, Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 543/C3/KEP/2007 tanggal 14 Maret 2007 tentang SMP Negeri 1 Cilacap sebagai salah satu dari 100 SMP Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) se-Indonesia. Dan Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 271/C3/DS/2008 tanggal 18 Pebruari 2008 tentang Pemberitahuan Penerimaan Siswa Baru (PSB) SMP Bertaraf Internasional..
4. Teknik Pengambilan Sampel
Untuk mendapatkan data dalam penelitian, maka kami harus mewawancarai orang-orang yang terlibat dalam objek penelitian. Hal ini akan sangat beresiko, terutama dalam keterbatasan waktu, dan dan tenaga. Oleh karena itu, diperlukan pengambilan sampel dengan menggunakan teknik sampling. Sampel adalah sebagian dari populasi yang diambil secara representatif atau mewakili populasi yang bersangkutan atau bagian kecil yang diamati (Iskandar, 2008:69).
Lebih lanjut lagi, Sutrisno Hadi berpendapat bahwa sampel adalah sebagian individu yang diselidiki (dalam Susanto, 2006: 114). Sedangkan teknik sampling merupakan penelitian yang tidak meneliti seluruh subjek yang ada dalam populasi, melainkan hanya sebagian saja yang diperlukan oleh kami dalam penelitian (Iskandar, 2008: 69).
Sampelnya berdasarkan kemampuan dan pengetahuannya tentang keadaan populasi (Susanto, 2006: 120). Sampel ini meliputi:
1. Kepala Sekolah/ Wakil SMPN 1 Cilacap (Wakasek Kurikulum RSBI) sehingga diperoleh informasi/ data mengenai gambaran nyata tentang pengimplementasian RSBI selama ini;
2. Para guru (terutama sains), kami mendapatkan data tentang bentuk partisipasi para guru dalam pengembangan kurikulum, serta penggunaan bahasa Inggris dan pemanfaatan teknologi saat proses pembelajaran;
3. karyawan Tata Usaha/ Administrasi dan Pustakawan, sehingga kami memperoleh data mengenai kegiatan administrative yang juga mendukung para guru dan siswa, mengetahui peran karyawan/ staf tersebut yang turut menjaga kelancaran program berlangsung;
Selain itu, teknik pengambilan sampel lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Snowball Sampling. Teknik penarikan Snowball Sampling adalah penarikan sampel bertahap yang makin lama jumlah respondennya semakin besar (Slamet, 2006:63). Teknik pengambilan sampel ini dilakukan untuk mengantisipasi perilaku informan yang cenderung menghindar ketika akan diwawancarai dan merekomendasikannya kepada orang lain yang dianggap lebih mengetahui dan berwenang memberikan informasi. Sebagai contoh dalam penelitian ini, kami ingin mencari informasi tentang bentuk partisipasi siswa dalam pengembangan program, maka kami memutuskan Wakil Kepala Sekolah (Wakasek) Kesiswaan yang dijadikan informan pertama, sehingga didapatkan informasi yang masih bersifat umum saja mengenai berbagai bentuk partisipasi siswa,
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan kami dalam penelitian ini, sebagai berikut :
a. Wawancara mendalam (indepth interview)
Untuk memperoleh data yang memadai sebagai cross cheks, kami menggunakan teknik wawancara dengan subyek yang terlibat dalam interaksi sosial yang dianggap memiliki pengetahuan, mendalami situasi dan mengetahui informasi untuk mewakili obyek penelitian (Iskandar, 2008: 77).
Teknik wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui kegiatan interaksi sosial antara kami dan yang diteliti (Slamet, 2006: 101). Lebih rinci lagi teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Melakukan wawancara mendalam berarti menggali informasi atau data sebanyak-banyaknya dari responden atau informan (Susanto, 2006: 131). Pada penelitian ini, kami juga melakukan wawancara dengan pendekatan secara mendalam. Kami berusaha mencari informasi terlebih dahulu mengenai latar belakang informan yang akan dipilih. Dengan pendekatan tersebut, diharapkan mendapatkan informasi/ data yang lebih jelas dan mendalam, begitu juga kepada informan lainnya.
b. Observasi
Teknik pengumpulan data yang lain adalah melalui teknik observasi. Teknik observasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat nonverbal (Slamet, 2006: 85). Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari proses biologis dan psikologis (Susanto, 2006: 126). Sehingga membutuhkan kemampuan dalam mengamati objek penelitian. Pada teknik ini, indera kami yang paling berperan adalah indera penglihatan dan pendengaran.
Dalam penelitian ini, kami juga telah melakukan observasi ke lokasi penelitian, yaitu di SMPN 1 Cilacap dalam jangka ½ hari dengan membagi-bagi tugas seluruh anggota kelompok. Dari observasi tersebut diperoleh beberapa informasi mengenai bagaimana proses pembelajaran di SMPN 1 Cilacap terkait penggunaan bahasa Inggris dan pemanfaatan TI, melihat kegiatan training/ pelatihan peningkatan kualitas guru seperti training pemanfaatan teknologi, mengamati ruangan khusus bagian RSBI, laboratorium dan ruang multimedia, serta mengobservasi berbagai fasilitas dan sarana prasarana di sekolah.
Kami juga mengamati system informasi manajemen sekolah yang ada serta melihat arsip dan berbagai dokumentasi kegiatan proses pembelajaran. Dalam melakukan penelitian ini, karena keterbatasan waktu dan tenaga kami, maka teknik observasi ini tidak bisa dilakukan secara terus menerus. Disamping itu, pada saat melakukan observasi kami juga sempat mengalami sedikit kesulitan/ terhambat karena program pembangunan gedung dan berbagai fasilitas yang sedang berlangsung. Pada saat observasi, kami tidah melihat proses kegiatan belajar mengajar secara langsung. Karena pada waktu itu sedang dalam keadaan libur sekolah. Kami disini lebih bersifat pasif
c. Studi dokumentasi
Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi adalah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen (Susanto, 2006: 136). Dokumen-dokumen yang dapat berupa arsip-arsip, catatan pribadi, laporan kelembagaan, referensi-referensi, atau peraturan-peraturan yang relevan dengan fokus penelitian, seperti Rencana Pengembangan RSBI di SMP N 1 Cilacap tahun 2007 dan 2011, Surat Keputusan Dirjen Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas No. 543/C3/KEP/2007 tanggal 14 Maret 2007 tentang SMP Negeri 1 Cilacap sebagai salah satu dari 100 SMP Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) se-Indonesia. Dan Surat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah No. 271/C3/DS/2008 tanggal 18 Pebruari 2008 tentang Pemberitahuan Penerimaan Siswa Baru (PSB) SMP Bertaraf Internasional, dan data-data dan informasi lain yang menunjang.
6. Validitas Data
Data yang telah dicatat dan dikumpulkan harus dijamin kesasihan (validitasnya). Hal ini dilakukan untuk menghindari penyimpangan informasi dari pengolahan data yang sudah diperoleh. Salah satu kriteria teknik menurut Moeloeng, Danmin Sudarwan dan Sugiyono dalam mengukur tingkat validitas data adalah dengan trianggulasi data (dalam Iskandar, 2008: 229). Trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap suatu data (Iskandar, 2008: 230). Menurut Patton teknik trianggulasi dibedakan menjadi, antara lain : (dalam Sutopo, 2002: 78).
1. Data trianggulation, dimana kami menggunakan beberapa sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sama.
2. Investigator trianggulation, yaitu pengumpulan data sejenis yang dikumpulkan oleh beberapa orang kami.
3. Methodological trianggulation, yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yang berbeda ataupun dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang yang berbeda.
4. Theoritical trianggulation, yaitu kami melakukan meneliti tentang topic yang sama dan data yang dianalisis dengan menggunakan perspektif.
Dari beberapa teknik trianggulasi diatas, dalam penelitian ini, kami menggunakan teknik trianggulasi sumber (data trianggulation). Menurut Moeloeng penelitian yang menggunakan teknik pemeriksaan melalui sumbernya artinya membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda (dalam Iskandar, 2008:230).
Dalam hal ini, pengecekan dilakukan pada sumber-sumber yang dianggap kunci/utama oleh kami. Dengan demikian, berarti data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda (Sutopo, 2002:79). Sebagai contoh, pada saat kami ingin memperoleh data tentang kegiatan pertukaran pelajar ke Australia, kami menggali informasi pertama dari Wakasek RSBI, kemudian kami mengkroscek data kepada Wakasek Kesiswaan. Untuk menjamin keabsahan data, maka kami juga menggali informasi dengan mewawancarai beberapa guru yang turut mendampingi pertukaran pelajar/ studi banding.
Dari berbagai sumber atau informan tersebut, kami yakin akan data yang diperoleh. Selain itu, dalam penelitian ini juga menggunakan teknik trianggulasi metode (methodological trianggulation), yakni penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang yang berbeda (Sutopo, 2002: 80).



Tidak ada komentar:
Posting Komentar